
KaltimNews. Id, Berau, Kaltim – (21/4/2025).
Ketika deru mesin tambang mulai terdengar di lahan pertanian warga Kampung Tumbit Melayu, bukan hanya tanah yang terguncang, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem yang seharusnya melindungi mereka. Aktivitas tambang oleh PT Berau Coal yang diduga dilakukan tanpa sosialisasi dan hanya mengandalkan satu dokumen AMDAL untuk seluruh wilayah konsesi bukan hanya mencoreng wajah penegakan hukum, tapi juga menunjukkan betapa lemahnya keberpihakan negara kepada rakyat kecil.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan jurang besar antara hukum yang tertulis dan implementasi yang berjalan. Ketika warga dari berbagai kampung mengatakan mereka tidak pernah dilibatkan, tidak pernah diundang, dan bahkan tidak tahu-menahu soal proyek tambang di tanah mereka sendiri—di situlah kita melihat kegagalan negara hadir untuk rakyatnya.
Lebih miris lagi ketika perusahaan dan pejabat yang bertanggung jawab memilih diam seribu bahasa. Keheningan ini bukan lagi sekadar bentuk kehati-hatian, tetapi indikasi kuat adanya hal yang ingin disembunyikan. Ketika transparansi dikorbankan, maka yang tumbuh bukan hanya kecurigaan, tapi juga ketidakadilan.
Mari kita jujur. Regulasi lingkungan hidup di Indonesia tidak kekurangan pasal-pasal baik. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 dan PP No. 27 Tahun 2012 sudah mengatur dengan sangat jelas bagaimana AMDAL bukan sekadar dokumen administratif, melainkan komitmen moral dan legal untuk mencegah kerusakan lingkungan dan melindungi hak warga.
Sebagian pihak mungkin berargumen bahwa jika AMDAL dan Feasibility Study (FS) sudah disetujui oleh tim penilai, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Tapi benarkah begitu? Bukankah proses penyusunan dokumen tersebut juga harus memenuhi prinsip partisipatif? Apalah artinya persetujuan teknokrat jika rakyat yang terdampak tidak pernah dimintai suara?
Bagi masyarakat adat dan petani lokal, tanah bukan sekadar ruang produksi, tapi juga ruang hidup dan identitas. Maka setiap aktivitas industri yang mengancam tanah mereka harus melalui proses yang jujur, terbuka, dan berkeadilan.
Apa yang terjadi di Berau saat ini bukan hanya soal teknis AMDAL, tapi cermin dari pola relasi yang timpang antara korporasi, negara, dan rakyat. Kita tidak bisa terus membiarkan alat berat melindas hak hidup masyarakat dengan restu dari diamnya para pemangku kebijakan.
Saatnya publik bersuara. Saatnya pemerintah pusat dan daerah tidak lagi bersembunyi di balik dokumen-dokumen administratif. Audit harus dilakukan, bukan sebagai formalitas, tapi sebagai bentuk tanggung jawab kepada generasi kini dan yang akan datang. Jika terbukti ada pelanggaran, maka izin harus dicabut, dan perusahaan wajib bertanggung jawab.
Kita tidak butuh tambang yang menghasilkan kekayaan di atas penderitaan. Kita butuh pembangunan yang berkeadilan, yang menyejahterakan tanpa harus menghancurkan.(**).
Jurnalis- Marihot – RED